Adat Sebagai Adab Mempertahankan Kultur Budaya Di Desa Panglipuran Bali Era Modernisasi

Desa Panglipuran Bali

Baliwartaglobalnusantara.com -Panglipuran adalah sebuah desa yang memiliki tatanan khas dan berbeda dengan desa adat lainnya yang ada di Bali. Ciri khas desa tersebut terletak pada angkul-angkul (pintu gerbang) rumah penduduknya yang seragam. Selain angkul-angkul yang seragam, desa yang terletak sekitar lima kilometer diutara Bangli ini juga memliki sejumlah adat istiadat dan tradisi yang unik. Luas wilayah hanya 112 hektar, tata guna lahan 45 hektar hutan bamboo, 50 hektar tegalan atau tanah ladang, 9 hektar pemukiman. Sedangkan radius 500 meter utara selatan, ada di jejer barat dan jejer timur, ada 76 kaplingan pakarangan. Dari no urut 1 sampai keselatan ada 76 yang statusnya adalah hak guna pakai dan bukan hak milik pribadi. Di jalan utama tidak boleh dilewati mobil/sepeda motor. Jika ingin membawa mobil/sepeda motor harus memutar sepajang 2 km, di jalan yang sudah sediakan. Pengunjung ataupun warga panglipuran tidak boleh membawa sepeda motor/mobil di jalan utama dan ada 4 hektar sebagai fasilitas umum , misalnya pura, sekolah, bale banjar, dsb. Curah hujan cukup tinggi dari 2000-2500 cm dengan suhu antara 20-24. Termasuk daerah sejuk atuu daerah dingin karena dekat dengan pegunungan.

Desa Panglipuran merupakan salah satu desa yang sampai saat ini masih memegang teguh budayanya. Desa panglipuran termasuk wilayah kelurahan Kubu. Asal mula desa panglipuran berawal dari nama desa bayuh gede, di daerah Kintamani, kurang lebih 35 km dari Desa Panglipuran. Sebelum bernama desa panglipuran namanya adalah kubu bayuh. Kubu merupakan wilayah dari desa panglipuran, kemudian bayuh adalah asal warga aslinya. Jadi orang bayuh yang tinggal di kubu atau orang kubu yang berasal dari bayuh. Nama dari panglipuran tersebut berasal dari kata “pangeling pura”. Jadi eling artinya ingat atau mengingat, pura artinya rumah Tuhan, kalau dibali bisa disebut pura/puri. Jadi artinya ingat kepada tempat asalnya yang ada di bayuh gede.

Desa panglipuran tersebut di bangun dengan konsep-konsep yang dibawa dari daerah-daerah leluhurnya. Suatu contoh dalam bentuk tatanan, misalnya pura-pura yang di bangun didesa panglipuran sama dengan yang ada dibayuh gede. Bahkan ada yang memberikan batasan bahwa nama desa panglipuran berasal dari kata panglipur yang artinya penghibur. Konon dahulu tempat tersebut sering dipakai tempat rekreasi oleh Raja Bali dan ada juga orang yang mendefinisikan dengan kata panglipur lara.

Dinamika Sosial Desa Adat Penglipuran

Nilai dan norma yang ada di masyarakat desa Penglipuran didasarkan pada konsep ajaran agama Hindu Tri Hita Karana, yaitu tiga hal yang menyebabkan kebaikan, diantaranya hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungan. Konsep tersebut digunakan oleh masyarakat sebagai pedoman orientasi dan motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku. Nilai-nilai sosial yang tumbuh di masyarakat yang mengandung makna luhur yang mendasari dalam kehidupan sehari-hari yaitu Tat twam asi yang merupakan konsep tentang saling menghargai antara sesama manusia, adanya toleransi dan hidup saling berdampingan. Salunglung Sebayantaka yaitu suatu konsep yang mengandung makna rasa sepenanggungan atau senasib. Beriuk Siu merupakan konsep yang mengandung makna persatuan dan kekompakan, dalam masyarakat. Menyama Braya konsep ini mengandung makna yang begitu mendalam, arti nyama braya yaitu persaudaraan. Hukum Karma Phala yaitu konsep dalam agama Hindu yang percaya dengan hasil dari perbuatan, dimana bila kita berbuat baik maka hasilnya yang diterima adalah kebaikan dan sebaliknya jiga keburukan yang kita lakukan maka keburukanlah yang akan kita terima. Bhakti Marga, hal ini memiliki arti bakti terhadap negara, pemerintah, dan agama. Karya Marga, yaitu suatu nilai yang mendorong solidaritas warga masyarakat untuk berbuat atau berkarya guna menjaga desanya. Nilai dan norma di atas kebanyakan muncul dari ajaran agama Hindu. Hal tersebut sangat diyakini oleh masyarakat khususnya Bali, bila ada pelanggaran terhadap norma-norma maka masyarakat akan segera membuat suatu upacara yang gunanya untuk menyeimbangkan agar keadaan bisa dinetralisir. Oleh sebab itu nilai dan norma yang ada di Bali sampai sekarang masih tetap eksis. Masyarakat Desa Adat Penglipuran merupakan satu kelompok masyarakat Bali (Bali Mula) yang menganut Agama Hindu Masyarakat Desa Penglipuran masih tetap mempertahankan tempat-tempat suci (pura) dan ritual tradisional warisan nenek moyang mereka.

Desa Penglipuran memiliki bahasa yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya. Di Bali sendiri Bahasa Bali memiliki tingkatan penggunaannya, misalnya ada yang di sebut Bali Alus, Bali Madya, dan Bali Kasar. Bahasa yang halus digunakan untuk berkomunikasi secara formal misalnya dalam pertemuan di tingkat desa adat, meminang wanita, atau antara orang berkasta rendah dengan orang yang berkasta lebih tinggi. Bahasa madya digunakan ditingkat masyarakat menengah misalnya atasan kepada bawahannya, sedangkan bahasa bali kasar dipergunakan untuk berkomunikasi oleh orang kelas rendah misalnya kaum sudra atau antara bangsawan kepada abdi dalemnya.

Dinamika Budaya Adat Desa Penglipuran

Adat Istiadat Dalam ajaran agama Hindu seluruh jenis upacara pada umumnya di Bali dan Penglipuran khususnya, digolongkan ke dalam lima komponen yang terstruktur yakni disebut dengan panca yadnya, dalam arti harfiahnya panca artinya lima dan yadnya artinya korban suci. Adapun lima komponen dari panca yadnya yaitu:

1. Manusia yadnya, yaitu meliputi upacara daur hidup dari masa bayi masih dalam kandungan sampai dewasa

2. Pitra yadnya, yaitu : merupakan upacara yang ditunjukan kepada roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur.

3. Dewa yadnya, yaitu upacara yang dilakukan di pura umum seperti Tri Kahyangan Tiga mapun pura Jagat (pura umum) maupun yang lebih kecil adalah upacara yang dijalankan di pura keluarga.

4. Resi yadnya, merupakan upacara yang berhubungan dengan pentasbihan pendeta.

5. Bhuta yadnya, meliputi upacara yang ditunjukan kepada bhuta dan kala, yaitu rohroh halus, yang ada dialam dan disekitar manusia sehingga tidak menggangu kehidupan manusia.

Lima komponen tersebut di atas, menjadi pedoman dalam melaksanakan kewajibankewajiban yang tentunya bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, kemakmuran atau kesejahteraan terhadap Tuhan. Tahapan pelaksanaan pemakaman di Desa Penglipuran yaitu masyarakat desa akan membunyikan kentongan beberapa kali sebagai tanda berita duka. Seusai terdengar kentongan berbunyi, selanjutnya para tokoh dan pemuka adat berkumpul mencari hari baik kapan waktunya untuk pelaksanaan penguburan mayat. Setelah hari baik disepakati baru dilaksanakan upacara memandikan mayat, setelah itu mayat ditempatkan di Bale dengan arsitektur Bali kuno. Jika waktunya tiba, mayat pun diusung ke kuburan desa yang terletak di ujung sebelah barat. Saat berjalan ke kuburan tidak menggunakan banten ataupun sesajen, dan mayat langsung dibawa ke kuburan oleh kerabatnya. kemudian mengusung kembali mayat yang telah dibersihkan, setelah itu diputar sebanyak sebelas kali ke arah kanan. mayat yang sudah tidak memakai pakaianpun dimasukkan ke dalam kuburan yang sudah disediakan warga sebelumnya. Prosesi tradisi tersebut bertujuan untuk menghormati maha kuasa atas keberkahan hidup selama di dunia ini dan jika pada waktu meninggal, kembali kepada yang maha kuasa dengan sikap sopan dan suci. Tradisi tersebut tetap dilaksanakan dan tidak akan pernah ketinggalan sedikitpun.

Penguburan mayat dengan cara ditengadahkan untuk mayat perempuan dan ditelungkupkan untuk mayat laki-laki memiliki filosofi tersendiri.Posisi menengadah atau yang dalam bahasa bali di isitilahkan dengan posisi nungkayak untuk mayat perempuan melambangkan ibu pertiwi (bumi). Sedangkan posisi telungkup atau yang dalam istilah Bali melinggeb untuk mayat laki-laki, melambangkan akasa (angkasa). Saat dikubur posisi kepala mayat baik perempuan maupun laki-laki samasama diposisikan di arah barat atau arah matahari terbenam. “Kenapa seperti itu, karena lokasi Pura Dalem Pingit berada di delod kauh (barat daya). Makanya mayat di kubur berorientasi ke barat kearah mata hari terbenam.

Kuburan di Desa Penglipuran dibedakan menjadi tiga. Kuburan yang berada paling timur diperuntukan khusus untuk memakamkan warga yang meninggal karena tidak wajar seperti bunuh diri dan sejenisnya (salah pati ataupun ulah pati). Sementara yang di tengah diperuntukan untuk memakamkan bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Sedangkan yang paling kauh (barat) diperuntukan untuk mengubur warga yang meninggal secara wajar.Tradisi tersebut masih bertahan hingga saat ini dikarenakan sejak turun –temurun dari generasi ke generasi tetap dilakukan dan tidak pernah di lupakan oleh masyarakat desa Penglipuran. Tradisi tersebut dilakukan jika salah satu anggota keluarga ada yang meninggal di desa tersebut dan warga asli desa panglipuran.

Tata Ruang Desa Adat Panglipuran

Secara konseptualistik, Desa Adat Penglipuran mengikuti pola Hulu-Teben(linier) dimana Asutama yaitu poros Utara-Selatan merupakan aksis linier desa yang sekaligus berfungsi sebagai open space untuk kegiatan bersama-sama. Open space ini membagi desa menjadi dua bagian, yaitu jejer Barat dan jejer Timur.

Orientasi arah Hulu-Teben yaitu pada daerah hulu merupakan kawasan suci dan pada daerah teben merupakan kawasan nista dan diperuntukan untuk daerah kuburan. Jalan utama desa yang memanjang dari arah Utara ke Selatan merupakan “pusat” yang tidak hanya berfungsi sebagai sirkulasi umum tetapi juga berfungsi sebagai “plaza” dan ruang terbuka yang mampu meningkatkan hubungan antar gang/jalan setapak/pedestarian yang menuju ke pekarangan setiap unit rumah. Pusat ruang ini juga berfungsi sebagai pusat orientasi ruang publik pada saat pelaksanaan upacara adat (ritual ceremony).

Pekarangan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal untuk mengadakan upacara dan berhubungan dengan keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, penduduk mengusahakan kebun/ladang/pategalandi luar desa (di luar areal permukiman).Lahan yang terbatas dan keinginan untuk berinteraksidengan jalan utama mendorong terjadinya pengembangan perumahan ke arah pinggiran, tetapi tetap mempertahankan untuk tidak membangun di sekitar/luananPura (Pura Puseh dan Pura Penataran).

Menurut konsepsi orang Bali pada umumnya, terdapat suatu pemikiran yang bersifat baku dalam menerangkan kedudukan manusia di dalam alam semesta ini. Konsep itu menjelaskan bahwa alam semesta ini bentuknya seperti wadah dengan batas yang jelas dan tidak berubah-ubah. Sebagai suatu wadah, alam semesta ini mempunyai isi, yaitu elemenelemen yang terlihat maupun tidak, yang masing-masing berdiri dan berfungsi sendiri, tetapi saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Seperti halnya alam semesta, rumah dan pekarangan dikonsepsikan juga sebagai suatu alam kecil (mikro kosmos) yang di dalamnya juga terdiri atas elemen-elemen fisik yang terlihat dan yang tidak terlihat. Elemen-elemen yang terlihat adalah seluruh unsur yang menjadi isi dari alam kecil tersebut. Misalnya, unsur-unsur mineral (tanah, batu),makhluk hidup dan termasukpula sifat-sifat alam yang lain seperti panas, dingin dan sebagainya yang dapat dirasakan. Isi alam kecil yang tidak terlihat dikonsepsikan pula sebagai suatu ”jiwa” yang dianggap menggerakkan seluruh elemen yang lainnya itu. Hampir seluruh elemen yang mengisi rumah maupun pekarangan itu dikonsepsikan ke dalam tiga hakikat pokok, yaitu fisik, jiwa atau atma, dan tenaga (energi) yang satu sama lainnya berada dalam kesatuan yang utuh. Konsep tersebut terkristalisasi ke dalam apa yang disebut tiga penyebab utama kebahagiaan (Tri Hita Karana). Kebahagiaan itu menyangkut kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup jasmaniah (lahiriah) maupun rohaniah.

Manifestasi dari Konsep Tri Hita Karana dalam ketataruangan biasanya terwujud sebagai bentuk tiga bagian dari keseluruhan ruang yang ada, yaitu ruang utama (suci) yang disebut parhyangan, ruang madya sebagai wadah interaksi dan kegiatannya yang disebut pelemahan, dan manusia yang disebut pawongan.

Larangan Poligami di Desa Panglipuran

Desa panglipuran terkenal dengan desa wisata yang memiliki keunikan tersendiri dengan keseragaman pintu masuk rumah atau disebut kori. Adat dan tradisi kental yang masih menyelimuti desa penglipuran sangat terasa di sekitar, dari budaya sapa, sopan santun dan ramah tamah nya. Disamping keunikan itu, desa penglipuran juga memiliki adat yang sangat ketat (awig – awig) yang tidak memperbolehkan orang atau krama desanya untuk berpoligami (memiliki dua bahkan banyak pasangan). Jika sampai terjadi, maka orang tersebut akan diasingkan dan ditempatkan terpisah dengan orang atau krama desa lainnya. Tempat terpisah tersebut dinamakan Karang Memadu. Karang yang artinya tempat, Memadu yang artinya mendua, orang desa penglipuran akan membuatkan rumah untuk pasangan yang berpoligami tersebut. Dimana pasangan tersebut tidak boleh melewati batas – batas yang dituliskan di awig awig dan tidak diperkenankan ke pura yang ada di wilayah tersebut.

Gambar Lokasi Karang Memadu

Karang memadu adalah nama tempat yang ditujukan bagi mereka yang terbukti melanggar hukum berpoligami. Karang memadu merupakan lahan kosong yang terletak di pojok selatan Desa Penglipuran. Tempat ini khusus ditujukan bagi mereka yang kena kesepekan karena berani memiliki dua atau lebih dari satu istri. Tak hanya itu, sejumlah sanksi adat yang cukup berat juga diterima oleh masyarakat yang berani memiliki istri lebih dari satu. Jika ada yang berani melanggar peraturan ini, akan dibangunkan rumah khusus di KarangMemadu. Karang kosong dengan tembok tinggi, jauh dari akses kehidupan masyarakat dan memiliki luas 9 x 21 meter. Mereka yang menempati Karang Memadu akan tetap mendiami tempat itu sampai mereka berani memutuskan poligaminya. Di Depan Karang Memadu sangat jelas terpampang tulisan yang menunjukan bahwa tempat ini hukuman bagi mereka yang melanggar aturan adat.

Adapun tiga proses yang terjadi jika ada orang yang melanggar awig – awig atau peraturan berpoligami di desa adat penglipuran adalah sebagai berikut :

1. proses yang pertama adalah dengan cara memanggil pihak yang melakukan tindakan poligami untuk melakukan mediasi dan memberikan yang bersangkutan pemahaman awal tentang sanksi karang memadu yang nantinya akan dikenakan kepada mereka selaku orang yang sudah melanggar awig-awig desa.

2. Proses penerapan sanksi karang memadu yang kedua adalah karena pihak yang bersangkutan tetap bersikukuh akan pendiriannya untuk tetap melakukan tindakan poligami, maka pihak tersebut sudah siap untuk menerima konsekuansi terkena sanksi karang memadu. Karena pihak yang bersangkutan sudah siap menerima sanksi, maka warga akan membuatkan rumah di pekarangan karang memadu tersebut sebagai tempat tinggal keluarga yang melakukan tindakan poligami tersebut.

3. Proses penerapan sanksi karang memadu yang ketiga adalah menempatkan keluarga yang melakukan poligami di rumah yang berada di karang memadu sebagai tempat tingga mereka secara turun temurun.

Karena begitu beratnya sanksi karang memadu tersebut, maka sampai saat ini masyarakat desa adat penglipuran tidak ada yang berani untuk melanggar awig-awig tersebut atau tidak berani melakukan tindakan poligami.

Ketaatan masyarakat desa adat penglipuran untuk mematuhi peraturan tidak boleh berpoligami di dasari atas beberapa keyakinan yang ada di dalam setiap diri warga desa adat penglipuran. Maka dari itu, hingga kini tidak ada penduduk desa yang berani melanggar aturan berpoligami tersebut. Pasalnya mereka takut akan kesepekan yang nantinya diberikan kepada mereka. Sebab antipoligami sudah diwariskan turun temurun dari tetua mereka. Dan aturan ini kini telah ditetapkan menjadi sebuah awig awig yang dulunya tidak tertulis dan kini menjadi tertulis.

Leteh menjadi alasan utama mengapa para tetua mereka melarang terjadinya poligami. Kesepekan lain yang diterima oleh pasangan poligami yakni mereka tidak dapat bergaul secara bebas dengan masyarakat lainnya, dilarang melintasi utara perempatan desa serta tidak diperkenankan ke Pura yang berada di desa tersebut.

 

WGN/UNGGUL AGUS SASONGKO