Semarang, 29 September 2024
Karya : Wahyono Gunung Mahessa
Jejak sejarah yg meninggalkan toponimi diperkotaan nyaris hilang, karena dampak industrialisasi serta populasi Manusia, perkembangan Tekhnologi modern yg mengabaikan nilai filterisasi Budaya menjadi pemicu selain Rentang waktu yang sangat panjang menyebabkan hilangnya nilai histori warisan budaya masa lampau di Negeri ini, masa dimana pada abad tertentu sebagai bukti konkrit secara data atau juga transkip dicatatan para pegiat budaya dan arkeolog untuk melakukan analisa serta observasi sebagai rujukan kajian sejarah Kota Semarang agar seimbang atas apa yg didapat, budaya tutur masyarakat mengenai sejarah panjang tak juga bisa diterima secara akademik sebelum melakukan uji validasi, konskuensinya sejarah hanya akan menjadi cerita Rakjat atau Dongeng belaka, melenceng dari sejarah baku berdampak pembodohan sejarah kepada Publik secara luas jika menjadi bahan presentasi di ruang ruang instansi yg berkompeten.
Ekspansi kebudayaan akan terus bergulir tak dapat dibendung lajunya, pecinan berubah konsep hanya menjadi ruang Hedonis dan konsumtif jauh dari nilai keberagaman, cenderung nafsi nafsi dan anti sosial, perputaran ekonomi yg dipicu oleh sistem perdagangan serta produksi, masyarakatnya mengabaikan nilai warisan sejarah masa lampau yg dibangun ratusan tahun lamanya oleh para leluhur kita, berapa persen saja masyarakat yg peduli adanya artefak sejarah di Kota Semarang, beruntung masih ada peninggalan sejarah berupa kelenteng yg usianya ratusan tahun dan hingga saat ini masih berfungsi sebagai tempat ibadat para pelaku spiritual dan kepercayaan.
Gejala abai akan menghilangkan catatan sejarah masa lampau, baik itu tekstual atau Verbal akan hancur oleh miskinnya ruang itu sendiri, salah satu diantara catatan yg terselip dikantong jaman adalah keberadaan Makam Keramat Kanjeng Slamet yg berada di Daerah pecinan, tidak banyak diketahui sejarah konkrit, Siapakah, dan berperan sebagai apa pada jaman itu Kanjeng Slamet ada ditengah tengah peradaban lampau, jika diukur Kilometernya, keberadaan kelenteng tertua di Pecinan ( depan Pasar Gang Baru ) tidaklah jauh jaraknya, berkisar antara 500 meter dari makam Kanjeng Slamet, artinya saling berkaitan dengan sejarah Pecinan, dipertegas lagi adanya Masjid tua Menyanan yg berdiri sejak tahun 1650, karena Kanjeng Slamet Seorang Muslim, maka titik temu Budaya Multietnik syah lahir dari Pecinan.
Akan menjadi tragedi Sejarah beserta Budayanya jika tidak diketahui tokohnya.
Beruntung ada Keluarga Om Tek yg menyelamatkan Makam tokoh tersebut, dengan biaya mencapai jutaan untuk ngopeni makam beserta uba rampenya.
Sehingga makam Kanjeng Slamet masih ada dan bisa dijadikan rujukan sejarah, memang jika dibandingkan tidaklah sehebat makam para habaib di Kota Semarang yg ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan masyarakat, tanpa di ketahui asal muasal sejarahnya, fenomena ini sudah terjadi dan terlanjur diyakini oleh masyarakat secara masif.
Kanjeng Slamet Sosok Masyarakat yg bisa membaur dengan siapapun, memiliki kekayaan diatas rata rata, Peternakan Kuda sebagai simbol kekayaan atau rajakaya yg dimilikinya tetap saja bersahaja meski strata sosialnya berbeda, selain bersahaja Kanjeng Slamet mampu membangun kemistri dengan cara menyediakan sarana penting moda transportasi yg disewakan olehnya kepada Penggede yg singgah di Semarang, Kanjeng Slamet menangkap spirit misi perjalanan Muhibah Laksamana Cheng Ho, Kanjeng Slamet juga menjadi Tonggak Pembauran pada kala itu, spirit itu diambilnya ketika Sang Laksamana melaksanakan tugasnya dari Sang Kaisar Ke Semenanjung Jazirah Lautan di Semarang, sebelum terjadi Aluvial atau pendangkalan Lautan meskipun Kanjeng Slamet tidak menjadi bagian dari perjalanan Laksamana Chengho ke Pulau Jawa.
Perjalanan Muhibah terjadi pada tahun 1405 atau abad 14 sementara Kanjeng Slamet disinyalir hidup pada kisaran tahun 1600 atau mungkin 1700 an, spirit Perdamaian atas misi Ekspedisi dagang mampu menyatukan dua etnik yg berbeda secara Budaya, Agama beserta Dinamika Sosial di Daerah Wot Gandul atau Kawasan Pecinan.